Wagub DKI Bantah Kompromi dengan BPK untuk Capai WTP




Jakarta (BPAD_DKI), Wakil Gubernur DKI Jakarta membantah ada kompromi antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam penetapan status wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk laporan keuangan DKI. Menurutnya, yang dilakukan BPK tak lebih dari bimbingan semata.

"Tidak ada persoalan kompromistis. Kita yakin bahwa WTP ini dicapai tentunya dengan perjuangan dan kita terima kasih juga bimbingan dari teman-teman di BPK," kata Sandiaga di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (5/6).

Menurut Sandiaga, kompromi tidak akan mampu membawa DKI mencapai WTP. Menurut dia, BPK menerapkan standar yang ketat untuk pencapaian WTP. BPK hanya menyampaikan petunjuk yang harus dipenuhi. Jika tak terpenuhi, lembaga tersebut akan memberikan predikat non-WTP. "WTP itu very strict. BPK itu very strict," ucapnya.

Sandiaga menambahkan, pencapaian WTP merupakan kerja keras Pemprov DKI. Ia berharap dengan status tersebut pengelolaan keuangan DKI lebih akuntabel. Sandiaga juga mengucapkan terimakasih kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang telah membentuk panitia khusus (pansus). Tanpa pansus bentukan DPRD, status WTP juga tak akan diperoleh

"Jadi ini kerja kolosal bersama termasuk DPRD juga," ujar dia.

Bagi Sandiaga, ada tugas yang lebih berat dibandingkan pencapaian WTP itu sendiri. Status tersebut harus dipertahankan. "Menjaganya lebih susah. Jadi kita harapkan menjaganya," kata dia.

Sebelumnya, Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta mempersoalkan pemberian opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta atas laporan keuangan tahun 2017. Pemberian WTP tersebut dirasa aneh dan dinilai tak lepas dari kepemimpinan di pemprov yang dianggap kompromistis.

Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Gembong Warsono mempertanyakan sikap BPK terhadap pemprov yang dinilainya berbeda antara saat ini dan sebelumnya. Dia mengatakan, status lahan Sumber Waras yang sampai saat ini belum jelas menunjukkan adanya standar ganda dalam penilaian. Ia pun menilai ini tak lepas dari kepemimpinan di pemprov.

"Ada dua karakter kepemimpinan yang berbeda. Satu, karakter pemerintahan sebelumnya tidak kompromistis. Sementara, pemerintahan sekarang kompromistis, itu saja persoalannya," kata dia saat dihubungi, Ahad (3/6).

Dia berpendapat, perbedaan mendasar kepemimpinan saat ini dan sebelumnya secara prinsip itulah yang membuat penilaian BPK menjadi berbeda. Gembong menilai ada ketidakobjektifan dalam melihat satu objek persoalan. Akibatnya, kata dia, hasil penilaian menjadi berbeda, meski persoalan yang sama secara substansi tak ada yang berubah.

"Kalau pemerintahan dulu kan enggak kompromis. Bahkan, semua ditantang, kasarnya begitu. Karena itu, sekarang BPK juga menjadi lebih lunak (kepada Pemprov DKI sekarang)," ujar Gembong.

Gembong mengakui bahwa selama beberapa tahun Pemprov DKI tak mendapat WTP dari BPK karena persoalan pencatatan aset. Salah satunya adalah terkait lahan di Sumber Waras dan di Cengkareng, Jakarta Barat. Namun, kata dia, dua persoalan itu adalah sedikit dari sekian banyak persoalan dari lama yang terus terakumulasi sampai saat ini.

"Sekian persentase permasalahan itu terselesaikan 57 persen, yang tersisa 43 persen. Karena sudah mendapat 50 persen plus maka itu sudah layak mendapat WTP, mungkin seperti itu jalan pikirannya BPK," ujar dia.

Namun, lanjut Gembong, yang tak boleh dilupakan adalah jasa pemerintah sebelumnya. Perbaikan pencatatan aset ini, menurut dia, pondasinya telah diletakkan sejak era mantan gubernur Joko Widodo dan diteruskan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) hingga Djarot Saiful Hidayat.

"Untuk mendapat 50 persen plus itu kan itu buah karya dari pemerintah sebelumnya. Pemerintah sebelumnya membuat pondasi perbaikan terhadap pengelolaan aset DKI Jakarta itu," katanya.

Sumber: Republika.co.id

Kembali ke halaman berita